Pada sejak zaman dahulu, Jawa Barat disebut juga sebagai Tatar
Pasundan atau Tatar Sunda. Dan masyarakatnya dapat diidentifikasi melalui
bahasanya, yaitu bahasa Sunda. Begitu pula dengan daerah lain. Jawa Barat pun
mewariskan berbagai peninggalan budaya serta kearifan lokal masyarakatnya
sebagai wujud dari eksistensi sebuah peradaban. Salah satunya yaitu eksistensi
kampung adat. Keberadaan kampung adat di Tatar Pasundan ini dapat juga
merupakan simbol dari budaya luhung para nenek moyang kita. Yang sejak dahulu
sudah hidup secara beradab dengan segala kedinamisan di dalam tata
kehidupannya.
Namun sekarang keberadaan dari kampung adat di Jawa Barat
kian tergerus oleh zaman. Jika ini dibiarkan berlarut maka keberadaan kampung
adat sebagai simbol kearifan lokal nenek moyang kita akan hilang. Sungguh
sangat disayangkan jika kelak anak-cucu kita mengetahui kampung-kampung adat
Jawa Barat hanya dari lembaran-lembaran buku sejarah. Sebut saja di antaranya
yang masih eksis sampai sekarang yaitu, Kampung Ciptagelar, Kampung Cikondang,
Kampung Mahmud, Kampung Urug, Kampung Pulo, Kampung Naga, Kampung Kuta, dan
Kampung Dukuh.
Pemerintah dalam hal ini mesti segera oper
perseneleng untuk
melestarikan serta melindungi budaya dan kearifan lokal (local wisdom) dari
kampung adat. Secara kultural, sistem kemasyarakatan dari kampung ada pada
zaman dahulu itu tidak kalah canggih dengan sistem kemasyarakatan saat ini.
Hal
tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.
Pertama, istilah
“hutan larangan” sebagai upaya pelestarian hutan yang secara adat tidak boleh
dimasuki secara sembarangan. Ini sama ubahnya dengan peran Kementrian
Perhutanan sekarang yang menjaga dan mengatur kelestarian sumber daya hayati
hutan kita. Secara linguistik, masyarakat dahulu menciptakan istilah tabu agar
ditaati warganya, tidak merambah hutan, dan merusaknya.
Kedua, adat istiadat
yang secara normatif diatur dan dibuat untuk ketentraman kehidupan
bermasyarakat. Ini juga sama dengan peran Kementrian Hukum dan Ham pada masa
sekarang.
Ketiga, tata bentuk
rumah-rumah yang seragam di kampung adat yang secara semiotik, ilmu yang
mengkaji tanda yang dapat diidentifikasi sebagai rasa tenggang rasa antarsesama
manusia (dan makhluk hidup lainnya).
Keempat, budaya
disiplin masyarakat kampung adat yang sejak pagi buta telah terbiasa mulai
beraktivitas. Ini merupakan cerminan dari sikap asli bangsa kita.
Kelima, ekonomi dan
pertanian yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat kampung adat. Ini
menjadi ciri bangsa kita sebagai bangsa yang agraris.
Itu semua merupakan sebagian kecil dari kearifan lokal (local
wisdom) yang patut kita lestarikan. Karena bangsa kita dikenal dengan
bangsa yang kaya dengan budaya. Dan kearifan lokal tersebut merupakan jati diri
bangsa kita yang sebenarnya. Tetapi, banyak permasalahan pelik yang menyangkut
eksistensi masyarakat kampung adat sekarang mengenai hal-hal yang bersifat
administratif pemerintahan. Alih-alih berkembang ke arah yang lebih baik, malah
sebaliknya. Mungkin itulah sebabnya eksistensi dari kampung adat mulai pudar.
Namun, itu semua merupakan tugas kita bersama untuk
menyelesaikannya jika kita tidak ingin kehilangan kearifan lokal yang bernilai
luhur dari nenek moyang kita. Sebab, jika suatu bangsa mulai melupakan
nilai-nilai luhur warisan nenek moyang maka sama juga dengan bangsa yang tidak
beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar